Jumat, 25 Februari 2011

menjadi bangsa pelupa

Mungkin ada benarnya kalau ada yang bilang bangsa kita tergolong sebagai bangsa pelupa. Jauh sebelum peradaban modern muncul, orang tua kita menciptakan sebuah adagium, “lupa kacang akan kulitnya”, untuk menggambarkan karakter orang yang lupa akan asal-usul dan jati dirinya. Orang tua Jawa bilang, “wong melik nggendhong lali”, untuk menggambarkan karakter orang yang suka mabuk kekuasaan seperti dalam repertoar “Petruk Dadi Ratu”. Sebuah lakon yang secara simbolik menggambarkan Petruk yang jelata tengah berada di atas tahta kekuasaan dengan memangku perempuan bahenol sembari mencekik botol minuman keras; sebuah ikon jahat betapa kekuasaan, uang, dan perempuan, bisa membuat orang lupa akan kesejatian dirinya. Novelis Cekoslovakia, Millan Kundera, pun pernah bilang bahwa salah satu perjuangan terberat manusia adalah perjuangan melawan lupa.

Berbagai fenomena sendu dan tragis yang mengoyak negeri ini, agaknya juga makin membenarkan kalau kita semua tengah hidup di sebuah negeri pelupa. Lihat saja “Perang Koja” yang menelan ratusan korban luka, bahkan ada yang meninggal. Peristiwa tragis 14 April 2010 itu sesungguhnya tak akan terjadi kalau pihak-pihak yang bersengketa tidak lupa akan keberadaan makam keramat Mbah Priok di Koja, Jakarta Utara, itu. Mereka lupa kalau di sana ada makam seorang tokoh kharismatik, Mbah Priok atau Habib Hasan bin Muhammad al Haddad. Dia diakui sebagai penyebar agama Islam dan seorang tokoh yang melegenda. Namanya bahkan jadi cikal bakal nama kawasan Tanjung Priok.

Kita hampir selalu lupa pada sejarah bangsanya sendiri. Kasus-kasus yang memalukan dan menampar wajah bangsa yang dulu dikenal sangat beradab dan bermartabat semacam itu sejatinya bersumber dari keengganan dan kemalasan bangsa kita secara kolektif untuk bertindak cerdas dan penuh kearifan dalam memandang nilai-nilai historis sebagai media pembelajaran hidup. Kita menjadi begitu gampang melupakan peristiwa-peristiwa masa silam yang seharusnya bisa menjadi “museum peradaban” sebagai salah satu sumber kearifan diri. Yang lebih tragis, situs dan cagar-cagar budaya tak jarang digusur dan dihancurkan dengan dalih demi pembangunan.

pteruk dadi ratuSindrom pelupa yang sudah kadung akut melekat pada memori bangsa ini diperparah dengan upaya “pencucian otak” anak-anak bangsa atas kesaksian sejarah bangsanya sendiri. Betapa banyaknya tempat dan monumen bersejarah yang telah tergusur demi memuaskan nafsu hedonis kaum pemilik modal. Jika perlu, main gusur tanah-tanah rakyat yang sudah lama mereka huni untuk disulap menjadi super-mall atau tempat-tempat hiburan bergaya aristokrat. Imbasnya, anak-anak negeri ini jadi kehilangan spasi untuk melakukan jeda dan bermain yang sesuai dengan naluri dan dunianya. Anak-anak masa kini sudah lupa pada permainan tradisional yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal. Anak-anak masa kini telah dicekoki dengan permainan serba canggih dan modern yang melupakan nilai-nilai keuletan, kerja keras, dan mandiri. Semuanya ingin serba cepat dan instant.

Saya bukan antimodernisasi. Seiring dengan derap dan dinamika peradaban yang terus melaju menuju pusaran global, modernisasi mustahil bisa ditolak. Bahkan, bangsa kita perlu terus dipacu untuk melahirkan karya-karya kreatif dan modern yang mampu menjadi master-piece di tingkat dunia. Namun, modernisasi yang sering diidentikkan dengan pembangunan berkelanjutan akan menjadi tidak bermakna apabila harus menggusur dan menghancurkan nilai-nilai kesejarahan yang diyakini menjadi sumber kearifan lokal.

Ya, ya, lakon “Petruk Dadi Ratu” dan “Perang Koja” telah mengingatkan kita, betapa sikap lupa dan mabuk kekuasaan hanya akan melahirkan luka dan tragedi kemanusiaan. ***

0 komentar:

Posting Komentar