Jumat, 25 Februari 2011

bahjasa kekerasan dan kebebasan beragama

Bahasa sejatinya merupakan media komunikasi dalam konteks pergaulan umat manusia untuk membangun peradaban yang lebih terhormat dan bermartabat. Melalui bahasa, umat manusia mampu mengekspresikan pikiran dan emosinya sehingga bisa direspon pihak lain. Oleh karena itu, bahasa akan terus tumbuh dan berkembang secara dinamis seiring dengan perkembangan peradaban masyarakat pemakainya. Ia tak akan pernah mati sepanjang manusia sebagai pemangku budayanya masih eksis dan terlibat secara intens untuk menggunakan bahasa yang bersangkutan. Secara pragmatik, bahasa menjanjikan nilai-nilai kemaslahatan hidup untuk membangun kerukunan dan semangat perdamaian di tengah kemajemukan agama dan budaya. Prinsip kerja sama dan kesantunan berbahasa amat memungkinkan masyarakat pemakai bahasa untuk menaburkan kesejukan di tengah kecamuk amarah yang membadai akibat perbedaan prinsip dan keyakinan hidup.

upin-ipinNamun, agaknya peran bahasa selama ini belum dioptimalkan sebagai media komunikasi yang jitu untuk membangun tatanan nilai hidup yang jauh lebih beradab dan berbudaya. Yang sering mencuat ke permukaan justru bahasa-bahasa kekerasan yang mengancam kerukunan dan semangat perdamaian. Prinsip kerja sama dan kesantunan berbahasa makin jauh terjerembab dalam semangat primordialisme semu, sehingga tak sedikit orang yang demikian gampang “mengkafirkan” pihak lain yang tidak sepaham dan sekeyakinan. Yang lebih menyedihkan, bahasa sebagai media komunikasi telah tergantikan oleh benda-benda pembawa petaka. Pedang dan pentungan tak jarang digunakan untuk mengancam dan menakut-nakuti pihak lain di ruang publik demi memperoleh pembenaran terhadap prinsip dan keyakinan yang dianutnya.

Saya jadi tersentil oleh pernyataan Kang Sobary dalam sebuah tulisannya di Kompas (18 September 2010). Lewat sindirannya, budayawan itu bilang bahwa orang keras sering datang dari “ketandusan” hidup masa lalunya yang tak pernah menerima cinta. Apa tak mustahil mereka diharapkan memberikan cinta kepada kita?

Ya, ya, Kang Sobary tidak salah. Sebagai sesuatu yang universal, konon cinta menjadi basis manusia dalam meraih kehormatan dan martabat dirinya. Tanpa sentuhan cinta, manusia bisa jatuh terpuruk ke dalam kubangan yang penuh lumpur kebiadaban dan kenistaan. Hatinya selalu dilapisi dinding kebencian dan kepongahan. Dalam konteks demikian, mereka yang biasa menggunakan bahasa kekerasan di tengah-tengah kehidupan masyarakat komunalnya bisa jadi hatinya telah kering dari cinta; cinta kepada Tuhan, cinta kepada sesama, cinta kepada lingkungan dengan segenap makhluk ciptaan-Nya. Dan itu artinya, mereka telah gagal menjalankan fitrahnya sebagai khalifah di atas bumi yang mesti “memayu hayuning bawana” sebagai manifestasi sikap keagamaan yang rahmatan lil ‘alamiin.

Kita jadi sedih ketika sentimen keagamaan dijadikan sebagai dalih untuk menaburkan kebencian kepada pihak lain yang berbeda agama. Terlepas apa pun motifnya, jalan kekerasan (hampir) dipastikan tak akan pernah sanggup menyelesaikan masalah. Seandainya Garuda Pancasila bisa menangis –meminjam lirik sahabat saya, Budi Maryono– mungkin telah lama kita tenggelam ke dalam kubangan air matanya. Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang dicengkeramnya pun mulai tampak goyah dan bergetar akibat makin meruyaknya perilaku dan sentimen keagamaan yang makin tak tersentuh sikap toleran. Sungguh, ternyata berurusan dengan sesama manusia jauh lebih rumit ketimbang berurusan dengan Tuhan yang tak pernah mengajarkan paham dan bahasa kekerasan kepada hamba-Nya.

Urusan makin repot ketika bahasa sebagai media komunikasi telah dikubur perannya ke dalam kubangan peradaban. Yang muncul kemudian adalah bahasa “gedibag-gedibug atau brang-breng-brong” yang makin menjauhkan nilai kesejatian dirinya sebagai makhluk yang terhormat dan bermartabat. ***

0 komentar:

Posting Komentar